Antara Perintis dan Penerus

by admin

Kita sering mendengar ada sebuah perkataan yang menyatakan bahwa meneruskan itu lebih sulit daripada memulainya. Mungkin pertama kali mendengarnya kita akan merasa sangsi. Tentu perasaan seakan tidak percaya itu wajar karena mungkin pikiran kita mengatakan bahwa, bukannya sekedar meneruskan itu jauh lebih mudah daripada memulainya. Karena meneruskan itu sudah ada dasarnya, berbeda dengan memulai yang berangkat dari ketiadaan. Apa yang mau diteruskan kalau tidak ada yang memulainya. Pertanyaannya adalah, sebenarnya mana yang lebih sulit, merintis atau meneruskan.

Antara Generasi Perintis dan Penerus

Antara Generasi Perintis dan Penerus

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut dua realita di bawah ini mungkin bisa membantu untuk menuntun alur berpikir dan logika kita bersama. Sehingga bisa menempatkan secara benar cara pandang antara perintis dan penerus.

Realita Pertama

Ketika bangsa ini belum merdeka, semua orang dan potensi yang ada bersatu padu memperjuangankannya. Semua elemen masyarakat ketika itu berada dalam kondisi psikologis yang sama yaitu mereka dalam kondisi dijajah. Musuh mereka ketika itu sama yaitu para kaum penjajah dari negeri Belanda. Hal itulah yang kemudian melahirkan kekuatan semangat yang sangat luar biasa. Dimana titik puncak perjuangan pada saat itu benar-benar nyata dan jelas yaitu sebuah kemerdekaan. Sehingga para pejuang kemerdekaan cenderung lebih mudah digerakkan. Bahkan mereka rela berkorban dengan mempertaruhkan jiwa, raga dan hartanya.

Tetapi ketika kemerdekaan sudah diraih, bahkan sudah sekian lama kemerdekaan tersebut kita nikmati. Rasa rasanya perjuangan mengisi kemerdekaan bangsa ini belum sepenuhnya berhasil. Ketika banyak orang yang sudah merasakan kenikmatan hasil kemerdekaan, di sisi lain tidak sedikit juga yang masih hidup sengsara dibawah garis kemiskinan. Ditambah dengan semakin menganganya kesenjangan sosial, banyaknya ketidakadilan hukum dan praktek korupsi juga merajalela. Hal ini menjadikan semangat juang yang dulu pernah membara sulit untuk ditumbuhkan kembali.

Baca Juga : Dua Dimensi Kepemimpinan Rasulullah Saw

Tak heran jika generasi pelanjut kemerdekaan seakan kehilangan arah dan tujuan. Titik klimaks yang dulu diperjuangan bersama sudah tidak ada lagi. Musuh yang dulu begitu jelas, sekarang seakan terlihat samar. Karena tidak ada lagi para penjajah, mereka sudah pergi meninggalkan ibu pertiwi. Realita yang terjadi di lapangan adalah sesama warga Indonesia malah saling sikut dan saling menjegal antara satu dengan lainnya. Dari situ kita bisa renungkan ternyata memang benar bahwa merebut kemerdekaan itu memang sulit tapi melanjutkan dan mengisi kemerdekaan itu jauh lebih sulit lagi.

Realita Kedua

Begitu juga yang terjadi di dunia bisnis, pakar marketing dan bisnis Hermawan Kertajaya dan MarkPlus Counsulting berpendapat, tantangan yang dihadapi seorang penerus sebuah bisnis sering kali justru lebih berat ketimbang orang ynag merintisnya dari nol. Sama halnya dalam “kasus” pejuang kemerdekaan diatas, bagi orang yang merintis ada semangat dan gairah yang membara saat mau memulai bisnisnya. Semangat menciptakan sesuatu yang baru, dan memperjuagkannya selangkah demi selangkah.

Halangan dan rintangan yang dihadapi seakan tidak sebanding dengan cita cita besar yang sudah dibangun dan terpatri kuat di jiwanya. Semangat untuk mensejahterakan keluarga dan anak cucunya, semangat membantu sesama, semangat mendapatkan derajat tinggi di kehidupan sosialnya dan motivasi semangat lainnya.

Generasi penerus memiliki tantangan dan peluang yang berbeda dengan perintis

Generasi penerus memiliki tantangan dan peluang yang berbeda dengan perintis

Tetapi tidak demikian yang dirasakan oleh para penerus bisnis atau perusahaan. Biasanya kasus ini terjadi pada para anak yang mewarisi bisnis orang tuanya. Bisa jadi si anak yang mewarisi bisnis orang tuanya kadang tidak punya minat di bidang usaha yang sudah dirintis oleh orang tuanya. Sehingga bisa jadi ia akan ogah-ogahan dalam mengelola dan melanjutkan bisnis tersebut.

Selain itu seorang penerus akan memikul beban tanggung jawab yang sangat besar. Mulai dari tanggung jawab terkait nasib para karyawan yang sudah bertahun-tahun menggantungkan nafkah keluarganya dari perusahaan tersebut. Kemudian juga beban terkait mempertahankan kemajuan perusahaan yang sudah dicapai oleh orang tuanya serta bagaimana ia harus terus meningkatkannya.

Apalagi kalau sejak awal generasi pelanjutnya tidak benar-benar dikondisikan untuk melanjutkan perusahan yang dimaksud. Orang tuanya tidak ingin mengganggu sekolah anaknya. Mereka hanya menyuruh anaknya untuk belajar dan mengejar prestasi-prestasi tertentu saja. Dalam artian orang tuanya tidak pernah melibatkan anaknya dalam urusan bisnisnya sebagai bagian dari proses pengkaderan atau regenerasi.

Di sisi lain banyak orang tua yang beranggapan bahwa anak-anaknya tidak boleh mengalami kehidupan yang susah sebagaimana yang pernah mereka alami dulu. Bahkan tidak sedikit dari orang tua yang terlalu memanjakan anaknya dalam keberlimpahan harta dan kenikmatan hidup lainnya. Sehingga ketika para orang tua sudah tidak bisa lagi menjalankan dan mengawal perusahaan, anak-anaknya malah tidak siap untuk meneruskan estafeta kepemimpinan perusahaan yang dimilikinya.

Baca Juga : Leadership Mentality

Padahal secara logika generasi kedua, ketiga dan seterusnya harusnya lebih siap dan lebih cakap dalam menjalankan perusahaan. Karena banyak kelebihan yang mereka miliki jika dibandingkan dengan generasi pertama. Tentunya mereka lebih berpendidikan dari pada orang tuanya. Keilmuan mereka jauh lebih hebat karena disekolahkan di lembaga pendidikan favorit. Pergaulan mereka lebih luas, karena dengan fasilitas dan harta yang diberikan oleh orang tuanya meraka mampu bergaul hingga level internasional. Relasi mereka tidak hanya dilingkup Indonesia tapi tersebar diseluruh penjuru dunia.

Walaupun realitanya ada juga para anak yang mampu sukses melanjutkan perusahaan orang tuanya. Namun yang perlu menjadi catatan adalah tantangan dan perjuangan yang dihadapi generasi pelanjut pasti lebih berat dibanding dengan saat generasi pertama merintis perusahaan tersebut. Hal ini menjadi wajar karena kemajuan dan perkembangan zaman menyajikan kondisi dan tantangan yang berbeda juga. Semakin maju dan semakin besar sebuah perusahaan maka semakin besar pula tantangannya. Layaknya sebuah pohon, semakin tinggi maka semakin kencang pula angin akan menerpanya.

Dari dua kondisi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa memang benar melanjutkan itu jauh lebih berat dan lebih susah daripada merintis atau memulainya. Tetapi tidak berarti bahwa merintis itu mudah. Jelas, merintis juga perlu perjuangan yang sangat luar biasa. Mereka mampu menghadirkan sesuatu yang baru. Para perintis adalah para pembuka jalan bagi generasi setelahnya. Maka kemuliaanlah bagi para perintis sebagimana pepatah Arab mengatakan “Al Fadhlu lil mubtadi wa in ahsanal muqtadhi”. Artinya kurang lebih, keutamaan (kemuliaaan) itu adalah milik pemula (yang memulai) walaupun yang melanjutkan berbuat juah lebih baik.

Oleh: Alim Puspianto, M.Kom – Master Trainer Leadership & Ketua Sakoda Hidayatullah Jawa Timur Sekaligus Dosen Dakwah di STAI Luqman Al Hakim Surabaya

Related Articles

Leave a Comment