Kalau kita membaca buku buku kepemimpinan, kita akan mendapati bahwa seorang pemimpin itu dipercaya oleh rakyatnya tidak lain karena ia mempunyai citra diri yang positif. Sebagaimana kita lihat pada diri Rasulullah SAW, salah satu aspek penguat sehingga beliau dipercaya memegang tongkat kepemimpinan umat adalah karena beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Sebuah gelar kehormatan yang mencitrakan kemulian beliau di mata masyarakat Mekah ketika itu.
Sebagaimana kita ketahui bahwa citra diri tidak bisa dibangun secara cepat apalagi mendadak. Citra diri merupakan catatan tentang perilaku asli seseorang di mata masyarakat. Serpihan serpihan catatan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan, mulai tentang prilaku, budi pekerti, akhlak, sikap dan lain sebaginya. Catatan tersebut tidak mudah dihapus atau dilupakan begitu saja. Sebab, catatan itu tidak ditulis di atas kertas, melainkan tertanam di dalam hati. Semua catatan tersebut terkumpul dan berubah menjadi penilaian khusus tentang citra diri seseorang yang dimaksud.
Kita juga tahu bahwa seorang pemimpin idealnya merupakan orang terbaik dari semua orang yang ada dalam masyarakat atau komunitas tertentu. Ia merupakan orang yang paling berpengaruh dan sangat disegani serta dicintai oleh seluruh masyarakatnya. Dalam artian seorang pemimpin pasti punya citra diri yang positif. Karena dengan citra diri positif tersebut seorang pemimpin akan mampu mengambil hati seluruh masyaraktnya. Sehingga seluruh masyarakat akan taat dan penuh semangat mendukung keberlangsungan kepemimpinannya.
Kenapa bisa demikian? Tidak lain karena bagaimana mungkin seorang pemimpin akan bisa mengatur rakyatnya jika ia tidak punya pengaruh dan tidak dicintai oleh rakyatnya. Pasti pemimpin tersebut akan kesulitan dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi pembangkangan. Kalaupun bisa memimpin mungkin akan menggunakan cara cara kekerasan. Begitu juga sebaliknya seorang pemimpin harus mencintai rakyatnya dengan sepunuh hati. Sehingga kebijakannya diharapkan berpihak dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyatnya.
Baca juga : Antara Perintis dan Penerus
Mirisnya, dewasa ini banyak kepemimpinan yang dibangun jauh dari nilai nilai luhur dan citra diri positif. Banyak orang yang nekat berbondong-bondong mencalonkan dirinya menjadi pemimpin. Bahkan dengan terang-terangan mereka meminta sebuah jabatan tertentu. Padahal mereka sendiri tahu kalau sebetulnya pribadinya tidak punya cukup kemampuan untuk menduduki posisi tersebut. Mungkin mereka tidak ingat akan sabda Rasulullah Muhammad SAW.
“Hai Abdurahman bin Sumarah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa bantuan dari Allah). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allah SWT) dalam melaksanakan jabatan itu”
Mungkin karena hasrat untuk menjadi pemimpin sudah merasuki hatinya maka segala carapun dilakukan demi mewujudkan apa yang menjadi keingginannya tersebut. Tak heran jika dimasa sekarang ini kita jumpai banyak sekali model pencitraan diri. Atau bisa juga kita menyebutnya dengan istilah politik pencitraan. Kenapa pencitraan ini begitu penting ? tidak lain karena untuk bisa dikenal dan kemudian dipilih, seseorang harus mempunyai citra diri positif. Apalagi orang tersebut belum begitu dikenal masyarakat, pasti politik pencitraan ini akan dilakukannya secara lebih masif.
Antara dulu dan sekarang
Seiring dengan perkembangan zaman, kita bisa melihat bahwa hal yang dianggap menaikkan citra diri juga berubah. Dulu seseorang dihargai karena memiliki kelebihan yang bersifat fisik. Seorang yang tampak perkasa akan sangat disegani dan bahkan juga ditakuti. Misalnya berbadan tegap, gagah, dan kuat. Di masa itu seseorang juga dihargai karena yang bersangkutan memiliki ilmu kesaktian tertentu. Mereka dianggap sebagai jagoan dengan ilmu dan kesaktian yang dimilikinya.
Namun pada zaman modern seperti sekarang ini, penghargaan terkait citra diri itu sudah berubah. Bukan lagi masalah fisik, keperkasaan dan kesaktian semata melainkan kecerdasan, karakter dan akhlak yang dimiliki. Walaupun kekuatan fisik masih diperlukan tetapi tidak memiliki arti apa-apa, manakala tidak dibarengi dengan tingkat kecerdasan yang tinggi. Bahkan akhir-akhir ini, kecerdasanpun harus disempurnakan oleh akhlak yang terpuji. Cerdas tanpa akhlak yang tinggi tidak akan mampu mengambil hati masyarakat. Karena sudah banyak orang yang pintar tapi malah keblinger. Kepintarannya tidak dijadikan untuk membatu sesama, malah ia gunakan untuk kepentingan diri dan kelompoknya.
Baca Juga : The 4 Rules of Leadership
Tak heran jika sekarang banyak calon pemimpin berlomba-lomba membangun citra diri sedemikian rupa. Bahkan agar meningkatkan kepercayaan dari masyarakat, mereka sampai mencari gelar instan untuk menambahi deretan huruf sebelum dan setelah penulisan namanya. Karena gelar akademik masih dianggap sebagai bagian dari citra diri positif. Dengan gelar yang dimiliki, maka citra dirinya diharapkan menjadi naik dan bisa dikenal masyarakat luas.
Tak lupa juga mereka berusaha meningkatkan citra positifnya melalui hal hal yang umum dilakukan. Seperti memperbaiki performance diri agar lebih mantab, memasang foto, spanduk, baliho sampai pada memasang iklan di media dengan begitu masifnya. Tak berhenti di situ, berbagai aktivitas yang menyedot perhatian dan simpati masyarakatpun dilakukannya. Seperti memberikan santunan kepada masyarakat pinggiran, ikut terjun membersihkan selokan dipinggir jalan, mengadakan pengobatan gratis dan lain sebagainya. Dengan bengitu harapannnya akan banyak orang yang bersimpati kepadanya. Kemudian tentu endingnya akan banyak masyarakat yang memilihnya.
Berapapun besarnya dana yang dibutuhkan pasti akan dikeluarkan. Toh mereka menganggap semua yang mereka lakukan ini merupakan bagian dari investasi masa depan. Dengan pertimbangan semua uang yang dikeluarkan akan mereka carikan gantinya ketika nanti sukses menjadi seorang pemimpin.
Oleh: Alim Puspianto, M.Kom – Master Trainer Leadership & Ketua Sakoda Hidayatullah Jawa Timur Sekaligus Dosen Dakwah di STAI Luqman Al Hakim Surabaya