Pemimpin mestinya bermental pemimpin bukan bermental pedagang yang orientasinya hanya untuk mencari keuntungan. Seorang pemimpin seharusnya menjadi pengayom, pemberi arah masa depan dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh anggotanya. Sehingga seorang pemimpin tidak hanya berbicara tentang kepentingan diri dan golongannya saja. Melainkan kepentingan rakyat senantiasa menjadi prioritas utamanya.
Nasib seluruh anggota menjadi tanggung jawab seorang pemimpin secara penuh. Maju dan tidaknya, berkembang dan merosotnya sebuah kapal organisasi ada ditangannya. Sungguh besar tugas dan amanah seorang pemimpin, wajar jika dibutuhkan orang “kuat” untuk memegang tongkat kepemimpinan tersebut. Karena dengan kekuatannya, harapannya ia akan mampu membawa organisasi menyusuri jalur kesuksesan sebagaimana yang telah ditargetkan.
Namun realitanya banyak orang yang berpikiran pragmatis dan hanya mengambil sisi enaknya saja. Mereka menganggap kedudukan seorang pemimpin hanya untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan. Karena jika menjadi pemimpin, yang ada dibenaknya adalah mereka akan mendapatkan banyak kemudahan. Mereka bisa melakukan apa saja sesuai dengan keinginnanya. Jabatan kepemimpinan hanya dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan semata.
Dari mindset yang demikian tidak heran jika banyak orang yang mengejar dan memperebutkan jabatan kepemimpinan dalam segala levelnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela berkorban mengeluarkan segala kekayaannya untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Tentunya dengan paradikma layaknya seorang pedagang yang selalu berorientasi pada profit. Semua harta atau modal yang mereka keluarkan akan mereka carikan ganti setelah terpilih kelak.
Baca Juga : Spiritual Leadership – Kepemimpinan Spiritual
Tak heran jika dalam setiap proses pemilihan pemimpin sangat kental nuansa transaksi politik. Sebab sebagian dari calon pemimpinnya masih bermental pedagang yaitu mensikapi proses pemilihan pemimpin layaknya transaksi jual beli di pasar. Dimana calon pemimpin sebagai penjualnya dan masyarakat sebagai pembelinya. Lebih jelasnya adalah jual beli suara dengan “Money politic” yang dilakukan oleh oknum tertentu. Bahkan istilah “serangan fajar” begitu akrab di telinga kita semua.
Ketika kedua belah pihak masih dalam tahap proses “tawar menawar” mereka akan saling mendekat dan mencari perhatian. Namun ketika proses transaksi sudah mencapai kata “deal” dan “barang” yang dimaksud sudah didapatkan maka hubungan tersebut akan putus dengan sendirinya.
Realitanya memang demikian, negeri yang katanya demokrastis ini masih dibangun atas dasar transaksional. Pemilihan pemimpin bukan didasarkan atas kapasitas atau kompetensi dan kemampuan seseorang. Melainkan sarat akan transaksi-transaksi dengan angka nominal yang tidak sedikit jumlahnya. Bahkan transaksi atau money politik tersebut semakin hari semakin “tanpo tedeng aling aling” lagi.
Realitanya untuk menjadi pejabat di negri ini, seseorang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Mulai untuk biaya partai, kampanye, dan ongkos yang terkait dengan proses pemilihan. Bahkan tidak jarang mereka harus mengeluarkan biaya tambahan sebagai “uang pelancar”. Melihat kenyataan tersebut, menjadi pemimpin di negri ini memang tidak cukup berbekalkan, kecerdasan, dan keahlian saja. Tetapi juga harus ada syarat lain yaitu kekayaan. Tak salah jika ada tokoh nasional yang mengatkan bahwa biaya demokrasi kita (Indonesia) terlalu mahal.
Dari proses yang demikian, pantaslah jika kebanyakan pemimpin yang dihasilkan adalah seorang pemimpin yang fokus pikirannya hanya untung dan rugi saja. Para pemimpin sudah mengeluarkan harta yang banyak sebagai modal. Maka hal pertama yang akan dilakukannya adalah bagaimana mengembalikan modalnya. Alih alih memimpin dengan baik dan bijaksana, mereka akan berkerja untuk dirinya sendiri dan tidak memikirkan nasib rakytnya.
Persoalannya adalah, apakah negeri yang dipimpin oleh orang-orang yang bermental pedagang itu akan menjadi maju dan sejahtera? Melihat apa yang sudah terjadi selama ini maka saya kira kita sepakat mengatakan tidak. Bahkan bisa jadi nantinya semakin banyak pejabat yang akan masuk penjara karena korupsi. Solusinya, negara mestinya tidak hanya berfokus melakukan pemberantasan terhadap para koruptor tetapi juga memperbaiki sistem yang berlaku. Karena bisa jadi sistem itulah yang sebenarnya menjadi sumber masalahnya. Bahkan ada bahasa menggelitik yang mengatakan bahwa jika malaikat masuk ke sistem Indonesia pun bisa jadi iblis.
Baca Juga : Effective Leadership, 7 Kriteria Pemimpin Efektif
Sebagai bahan renungan untuk kita bersama bahwa sesungguhnya seorang calon pemimpin itu tidak dianjurkan untuk mengajukan diri. Melainkan rakyat atau masyarakatnyalah yang akan memilihnya tanpa ada unsur paksaan dari manapun.
Sebagiaman hadis Nabi Muhammad SAW, Beliau bersabda. “Hai Abdurahman bin Sumarah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa bantuan dari Allah). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamubukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allah SWT) dalam melaksanakan jabatan itu”
Dalam Islam kepemimpinan itu adalah sebuah amanah. Para pemimpin harus bertanggung jawab atas amanah yang menjadi tanggungannya. Oleh karena itu akan menjadi aneh manakala posisi pemimpin harus diperebutkan. Semestinya kita harus hati hati bahkan takut terhadap semua amanah kepemimpinan. Kenyataannya untuk konteks sekarang justru sebaliknya, banyak orang yang memperebutkannya. Padalah amanah seharusnya tidak dicari apalagi sampai diperebutkan dengan menghalalkan segala cara.
Walaupun amanah itu sangat berat namun jika amanah itu benar benar menghampiri kita maka tidak boleh ditolak. Mereka yang memberi amanah, tentu sudah mempertimbangkan bahwa orang yang dipilihnya memiliki kemampuan untuk menjalankan roda kepemimpinan dengan baik. Menjadi aneh jika ada orang yang mengajukan diri menjadi pemimpin padahal secara kapasitas jauh dari kata cukup untuk menjadi seorang pemimpin.
Oleh : Alim Puspianto, M.Kom – Ketua Sakoda Hidayatullah Jawa Timur & Dosen Dakwah STAI Luqman Al Hakim Surabaya